Oleh : Hima Zahriyyatul Farchah
Deru mobil Lamborghini
berwarna hitam terdengar memasuki kawasan Pondok Pesantren At-Taqwa. Semua
santri putra yang kebetulan berada di jalan segera berbaris di pinggir dan
menunduk, tangan kanan menggenggam tangan kiri hingga mobil mewah itu berhenti
di garasi. Setelah mobil benar-benar berhenti, dari dalamnya keluar dua orang
laki-laki. Salah satunya sudah lanjut usia, kira-kira 72 tahun, dan yang
satunya lagi adalah aku.
Namaku Muhammad Fikar
El-Salafi. Kalau kau bertanya kenapa aku berada di samping Romo Yai dan
menuntunnya, itu karena aku adalah abdi ndalem, dan baru saja menemaninya pergi
ke Pondok Pesantren Miftahul Khoiriyah untuk menghadiri acara haul.
“Fi, setelah ini
langsung masuk madin. Banyak atasan dan amanah yang harus kamu jalankan,” titah
Romo Yai yang membuatku hanya bisa cengengesan. Romo Yai memang paling tahu
kalau aku berniat ke pondok putri atau memperbaiki mic mushola putri yang
rusak. Padahal aku bisa saja memperbaikinya nanti setelah sekolah madin.
“Tapi ojo turu ae,
keliru kelas engkok!” tambah Romo Yai yang membuatku kebingungan.
Suara para santri
mengaminkan doa dari Gus terdengar begitu kompak dan keras. Satu menit setelah
para santri turun, suara bel besi terdengar nyaring — pertanda bahwa semua
santri harus segera masuk ke kelas masing-masing.
Setelah membaca nadzhom
Alfiyyah dan murojaah sampai tuntas, Ustadz Rayhan datang tanpa membawa kitab.
Sudah bisa dipastikan bahwa kalimat pertama yang keluar dari mulut beliau
setelah salam adalah: hafalan nadzhom. Untungnya aku sudah hafal. Setidaknya lima
bait. Itu lebih baik daripada tidak hafal sama sekali.
“Ayo, yang sudah hafal
maju. Yang maju tapi belum hafal berdiri sampai hafal. Terlalu itu saja yang
tidak hafal, hafalkan di halaman putri sampai hafal!” ancam Ustadz Rayhan yang
dari dulu tak pernah berubah.
Aku langsung berdiri
dan melangkah mantap untuk menyetorkan hafalanku. Semua pandangan teman-teman
tertuju padaku. Mungkin mereka menganggapku hebat karena bisa menghafal. Setelah
mendapat anggukan dari Ustadz Rayhan, aku kembali duduk di bangku paling depan.
Perasaan lega menyeruak dari dadaku. Memang begitulah rasanya setelah selesai
setoran.
Sepuluh menit berlalu,
namun masih ada empat orang yang belum setoran. Sebelas lainnya masih sibuk
menghafal. Panjangnya jam madin membuat mataku berat. Entah sudah berapa kali
kepalaku hampir membentur meja karena tak kuat menahan kantuk. Tiba-tiba suara
gaduh dari teman seperjuangan terdengar samar di telingaku.
Gelap.
Yang terlihat hanyalah
bayangan meja, kursi, dan papan tulis. Kenapa aku begitu ceroboh sampai tak
tahu kalau kelas sudah bubar dari tadi?
Dengan terburu-buru aku
merapikan semua kitabku dan segera pergi dari kelas ini. Bahkan aku belum
sempat shalat isya. Namun belum sempat kakiku melangkah keluar, terdengar lagi
suara gaduh seperti sebelum aku tertidur tadi. Sontak saja aku menoleh ke dalam
kelas. Kosong dan hening. Bulu kudukku meremang. Aku segera mempercepat
langkahku. Aku tidak ingin kisah mistis di pondok ini terjadi padaku. Aku
bergidik ngeri mengingat cerita temanku...
“Jam 12 malam?! Itu
artinya kamu yang aku lihat. Tapi... kamu tidak sendiri, Cak. Aku lihat ada 415
orang di belakangmu, Cak. Hanya saja mereka memakai baju putih... dan wajah
mereka tak jelas,” tutur Vicky ketika aku baru saja selesai menceritakan pengalamanku
tadi malam.
“Heh, Vick. Jangan
nakut-nakuti. Aku pulangnya sendiri kok, Ora nggowo konco,” sanggahku, tak mau
percaya.
Aku yakin, aku keluar
dari kelas itu sendiri. Tak ada siapa-siapa di belakangku. Mungkin saja Vicky
sedang meracau tak jelas. Sebenarnya aku masih ingin nongkrong di sini. Tapi
kini Romo Yai memanggilku. Aku harus segera menghadap.
Malam itu aku
benar-benar kesal pada Vicky. Beraninya pemuda itu mengambil kitabku tanpa
seizin dan malah meninggalkannya di kelas. Ditambah lagi, dia memintaku
mengantarnya mengambil kitab itu. Padahal, jarum jam sudah menunjukkan pukul
23.57. Kulihat Vicky tertegun ketika membuka pintu. Keringat mulai membasahi
kerah bajunya. Bagaimana bisa dia berkeringat di sana, sedangkan aku di sini
kedinginan? Tiba-tiba bau anyir menusuk rongga hidungku. Merasa ada yang tidak
beres, aku langsung menarik tangan Vicky dan sesegera mungkin menjauhi kelas
itu. Namun bukan hanya kelas tadi yang menunjukkan keanehan. Di kelas-kelas
lain yang kulewati terdengar suara gaduh, seakan guru sedang mengajar. Bahkan
bau anyir itu semakin kuat, seolah merobek rongga hidungku.
Dan yang terakhir...
yang membuatku ingin menjerit sekeras mungkin dan melempar apapun yang ada di
sekitarku... adalah ketika aku melihat pemuda berbaju serba putih dengan mata
kanan yang tergantung dan hampir seluruh wajahnya rusak... menatapku tajam.
Sungguh, kali ini aku
benar-benar merasakan hal gila seperti itu.
“Itu tandanya kalian
diperingatkan lagi, Vicky. Jam segitu sudah waktunya istirahat. Kalau begadang
untuk ngaji, tidak apa-apa. Tapi kalau cuma nongkrong nggak jelas... ya masak
kalah sama yang sudah mati? Mereka saja belajar,” tutur Romo Yai setelah aku
menceritakan kejadian semalam.
Aku tak tega melihat
Vicky yang murung sejak tadi pagi. Vicky yang biasanya cerewet dan nyeleneh,
kini pendiam dan tatapannya kosong.
“Vick, jangan ngelamun
terus. Kesambet nanti. Perbanyak dzikir, jangan sampai kalah dengan mereka.
Jangan biarkan mereka menggantikan Allah SWT dalam pikiranmu,” tegur Romo Yai
sembari menepuk keras paha Vicky. Aku dan Vicky terkejut.
Benar kata Romo Yai.
Tak sepatutnya kita takut kepada mereka. Kini... La haula wa la quwwata illa
billah. Ya Allah, ampunilah hamba-Mu ini. Yang terlalu sering memikirkan
dunia lebih dari mengingat-Mu, ya Allah.
“Maka dari itu, jangan
sampai ketiduran lagi di kelas. Jangan sampai salah kelas lagi!” tambah Romo
Yai — membuatku terkekeh sendiri. Ternyata, ucapan Romo Yai dua hari lalu...
adalah sebuah peringatan.
TAMAT
0 Komentar