Sekarang ini, banyak orang suka memamerkan barang mewah, gaya hidup mahal, atau pencapaian di media sosial. Fenomena ini sering disebut flexing. Tujuannya jelas: ingin dilihat, dipuji, dan dianggap sukses. Tapi kalau dipikir-pikir, kenapa orang sampai segitunya ingin dilihat hebat? Menurut penulis, flexing bukan cuma soal pamer, tapi tanda bahwa banyak orang mulai merasa asing dengan dirinya sendiri—mereka lebih sibuk membangun citra daripada jadi diri sendiri.
Hartono (2023) menyebut bahwa flexing muncul karena orang ingin menunjukkan identitas di tengah keramaian dunia maya. Tapi menurut penulis, ini justru menimbulkan tekanan. Karena ingin tampil keren, orang jadi merasa harus beli barang mahal atau ikut gaya hidup tertentu, padahal mungkin sebenarnya tidak mampu atau tidak nyaman. Akhirnya, banyak orang jadi lelah secara mental karena merasa harus terus tampil “sempurna” demi diterima di media sosial.
Dari sisi ekonomi, flexing bisa bikin orang konsumtif. Wahidah dan Khodijah (2023) bilang bahwa banyak orang beli barang bukan karena butuh, tapi karena ingin terlihat punya. Penulis sepakat dengan itu. Apalagi sekarang banyak konten yang menyindir orang “biasa-biasa saja” seolah-olah kalau tidak kaya, hidupnya gagal. Akibatnya, orang bisa sampai berutang atau memaksakan diri demi terlihat sukses.
Dampaknya juga terasa di hubungan sosial. Kasuda dan Mahendra (2023) mencatat bahwa flexing bisa memicu iri hati dan perasaan rendah diri. Menurut penulis, ini bikin hubungan antar teman atau keluarga jadi tidak sehat. Media sosial yang seharusnya jadi tempat berbagi, malah jadi ajang adu pamer. Orang jadi tidak saling mendukung, tapi malah merasa bersaing satu sama lain.
Sebagai mahasiswa pendidikan sosiologi, penulis merasa penting banget untuk membahas hal ini. Sosiologi mengajarkan kita buat berpikir kritis dan melihat apa yang sebenarnya terjadi di balik fenomena sosial. Flexing bukan cuma soal gaya, tapi ada masalah sosial yang lebih dalam—tentang identitas, tekanan sosial, dan budaya konsumsi yang makin kuat.
Menurut penulis, kalau kita biarkan terus, budaya flexing bisa bikin orang makin jauh dari nilai-nilai kebersamaan dan kejujuran. Orang jadi lebih fokus pada penampilan luar daripada hubungan yang bermakna. Karena itu, penting untuk membangun kesadaran kritis, terutama di kalangan muda, supaya media sosial tidak hanya jadi tempat pamer, tapi juga tempat tumbuh dan saling mendukung secara jujur.
Daftar Pustaka:
-
Hartono, L. G. M. (2023). Individualitas yang Terawasi: Dinamika Flexing pada Gen Z di Instagram. Jurnal Studi Pemuda.
-
Wahidah, J. N., & Khodijah, K. (2023). Fenomena Flexing Di Medsos: Dampaknya Pada Hubungan Sosial dan Ekonomi. Hidmah: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat.
-
Kasuda, R., & Mahendra, R. (2023). Fenomena Flexing di Media Sosial. Blantika: Multidisciplinary Journal.
0 Komentar