Kenyataan manusia sebagai makhluk Tuhan, dengan rasa kemanusiaanya
mempunyai dua unsur yang saling melengkapi dan senantiasa bergerak dalam proses
dialektis. Dua unsur tersebut yaitu unsur horizontal dan unsur vertical
(Khaidir, 2006). Unsur horizontal meliputi interaksi manusia dengan manusia
lainya, tanpa membedakan suku, agama, ras, dan juga interaksi manusia dengan
alam sekitar. Sedangkan unsur vertical merupakan manifestasi dari penghayatan
keagamaan, yaitu hubungan manusia sebagai makhluk dengan Sang Pencipta.
Dalam unsur
vertical, manusia disuguhkan dengan yang namanya agama, sebuah keyakinan bahwa
manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan (Tauhid). Dan pada puncaknya agama
sebenarnya adalah pengejawantahan diri manusia untuk mengabdi kepada Tuhan (hablumminAlloh).
Keyakinan dan pengabdian inilah yang disebut dialog vertical.
Dalam realitas
kehidupan, manusia tidak bisa lepas dari hubungan-hubungan dengan makhluk
lainya. Terdapat suatu konsekuensi logis ketika manusia berhubungan
dengan makhluk lain, yaitu menjaga hubungan dengan baik. Dan hubungan inilah
yang disebut hubungan horizontal, yaitu hubungan manusia dengan manusia lain (hablumminannas)
dan hubungan manusia dengan alam sekitar (hablumminal a’lam). Hubungan
antar manusia ini dilandasi dengan dialog untuk mencapai saling pengertian,
pengakuan akan eksistensi dan sifat dasar manusia. Tokoh filsuf Jerman, Martin
Buber (1878-1965) dengan teori eksistensialisme-nya menjelaskan bahwa eksistensi
manusia pada dasarnya adalah sama, yaitu berproses secara dialektis dalam
mendambakan kesempurnaan eksistensi, pengakuan untuk saling menghormati, saling
mengakui eksistensi manusia lain, keberadaan manusia yang diliputi rasa
kemanusiaan atau yang biasa disebut memanusiakan manusia. Disisi lain manusia
diciptakan ialah sebagai khalifah fil ardh, manusia diciptakan sebagai
pemimpin yang bertanggung jawab di bumi, beranggung jawab dengan baik buruknya
keadaan bumi. Karena dengan akal manusia mampu merenofasi bentuk permukaan bumi (alam) dengan
sangat mudah.
Nabi Muhammad SAW sepulang dari Isra’ Mi’raj membawa
oleh-oleh yaitu perintah untuk shalat. Dalam terminologi Islam, shalat
mempunyai arti doa. Dan shalat dilakukan dengan teknis-teknis tertentu dimana
setiap gerak memiliki arti dan tujuan. Sebagai makhluk, shalat mempunyai arti
suatu penghambaan, abdi kepada Tuhan. Sebagai doa, sholat mempunyai sisi lain
yaitu dimensi kemanusiaan. Terminologi Islam menyebutkan bahwa shalat mencegah
perbuatan keji dan munkar, “Inna sholata
tanha ‘anil fahsa iwal munkar” (Q. S. Al-Ankabut: 45). Secara subjektif, jika
manusia masih melakukan perbuatan keji dan munkar, berarti shalatnya masih
dipertanyakan. Artinya, selain shalat termasuk ritual vertical manusia kepada
Tuhan, shalat juga mempunyai dampak horizontal yaitu hubungan dengan makhluk
lainya. Dengan kesimpulan bahwa dalam satu ibadah (shalat) mempunyai dampak
yang sangat luas, juga berhubungan dengan Nilai Dasar Pergerakan di PMII itu
sendiri. Dimana selain shalat bertendensi pada Tauhid dan hablumminAlloh, shalat juga termanifestasi makna hablumminnas dan hablumminal a’lam.
Oleh: Ahmad Sofiuddin
0 Komentar