PERMASALAHAN KARANTINA PADA MASA
KOLONIAL
Camelia Prahasinta
Beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia mendapatkan
kritik keras dari berbagai pihak karena dianggap terlalu meremehkan pandemi
covid-19. Kritikan itu semakin deras akibat lambatnya penanganan pandemi, yang
akhirnya menyebabkan virus menyebar ke hampir seluruh wilayah yang ada di Indonesia(https://majalah.tempo.co/read/opini/159883/editorial-salah-strategi-menteri-kesehatan-terawan-soal-corona).
Namun kegagapan serupa ternyata juga pernah terjadi di Indonesia tepatnya pada
masa kolonial. Akibat penangan yang terbilang lambat, “Flu Spanyol” mengamuk dan menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru
wilayah kepulauan. Ribuan korban berjatuhan, wacana karantina wilayah pun juga
diserukan, tetapi sama seperti sekarang, wacana karantina wilayah masa kolonial
juga menimbulkan polemik tersendiri.
Sekilas Tentang Flu Spanyol
Flu Spanyol atau virus H1N1, merupakan virus yang menjadi
pandemi dunia pada tahun 1918-1919. Satu abad yang lalu virus ini secara masif
menginfeksi manusia di seluruh dunia. Hingga saat ini sejarah kemunculan virus
ini masih menjadi perdebatan para sejarawan dan ilmuwan. Akan tetapi tidak
dapat dipungkiri, bahwa tingkat infeksi dan kematian akibat virus ini menjadi
salah satu yang tertinggi dalam sejarah pandemi dunia. Bahkan korban virus H1N1
jauh lebih tinggi dibandingkan korban Perang Dunia I (Philips, 2003: 4).
Seorang gadis kecil
menunggu kakaknya yang terbaring sakit.
Sumber: courier-journal.com
Sama seperti Covid-19, virus H1N1 juga menyerang saluran
pernafasan dan menyebabkan pneumonia (Oliver, 1918: 356). Mereka yang
terinfeksi virus ini biasanya akan merasakan gejala demam, kelelahan, dan sesak
nafas. Apabila tidak segera ditangani dapat menimbulkan kematian karena
kehabisan oksigen (Taubenberger, 2006: 91). Pengobatan dan fasilitas yang
terbatas saat itu menjadikan virus berkembang dengan cepat. Ditambah pandemi
ini bertepatan dengan puncak Perang Dunia I, sehingga virus menyebar lebih
cepat seiring dengan mobilitas pasukan dan kapal-kapal pada masa itu.
Hampir tidak ada wilayah yang luput dari virus ini. Di Asia,
jalur Pelabuhan Hongkong menjadi salah satu pintu masuk pertama masuknya virus.
Dari pelabuhan ini, virus pun menyebar ke wilayah Asia lain. Hindia-Belanda
(Indonesia) pun tidak luput terkena virus ini dan menjadi salah satu wilayah
yang terdampak paling parah akibat pandemi ini. Sebenarnya penyakit influenza
bukanlah penyakit yang baru di Hindia-Belanda. Influenza telah ada sebelum
tahun 1918 dan dikenal dengan sebutan griep. Hanya saja
persebarannya masih bersifat lokal, sehingga petugas kesehatan saat itu tidak
mengkategorikannya sebagai wabah atau epidemi.
Di saat virus baru H1N1 mulai memasuki kepulauan nusantara, para
pejabat Hindia-Belanda justru menganggap remeh penyakit tersebut. Mereka
menganggap penyakit ini tidak jauh berbeda dengan flu biasa. Pada bulan
April 1918, konsul Belanda di Singapura memberikan laporan peringatan kepada
Pemerintah Hindia Belanda di Batavia agar mencegah kapal-kapal dari Pelabuhan
Hongkong merapat dan menurunkan penumpang di pelabuhan. Laporan ini muncul
karena Hongkong telah dianggap menjadi epicentrum persebaran Flu Spanyol di
Asia.
Celakanya, peringatan tersebut malah disepelekan oleh pemerintah
kolonial. Tiga bulan kemudian, pada bulan Juli 1918, beberapa kasus influenza
mulai dilaporkan di sejumlah rumah sakit di Hindia Belanda. Jumlah korban pun
semakin meningkat pada bulan Agustus-November. Pada bulan November, jumlah korban
diperkirakan telah mencapai 486.000 orang (Het nieuws van den voor
Nederlandsch-Indie, 13 Januari 1919).
Memasuki akhir tahun 1918, korban Flu Spanyol terus mengalami
peningkatan dan telah menyebar hampir keseluruh Jawa (Mededeelingen van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst in
Nederlandsch-Indie, 1922: 101). Para kepala daerah dan masyarakat mengalami
kepanikan, karena virus memang begitu mematikan. Tempat keramaian dan jalur
transportasi laut serta darat menjadi pusat persebaran penyakit ini (Steenis,
1919: 914). Kurangnya edukasi dari pemerintah kolonial, menyebabkan penduduk
masih beraktivitas seperti biasa di tempat-tempat tersebut.
Saat pemerintah kolonial belum mengambil kebijakan berarti,
lembaga Nederlandsch Zending Genootschap
mengambil inisiatif untuk mengedukasi masyarakat. Para anggota Zending yang
tersebar hingga ke pelosok desa menjadi agen yang bertugas memberikan informasi
kepada masyarakat soal pandemi ini (Priyanto, 2009: 100). Meskipun demikian,
kepanikan tetap terjadi di masyarakat. Kepanikan ini disebabkan simpang-siur
informasi yang tersebar di masyarakat.
Kebijakan Karantina Wilayah Masa
Kolonial
Karena jumlah korban flu terus meningkat, maka pada November
1918, pemerintah kolonial membentuk tim khusus untuk meneliti dan mengambil
tindakan darurat dalam menghadapi pandemi (Mededeelingen
van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch-Indie, 1920:
101). Setelah terbentuk, tim yang dipimpin oleh Dr. De Vogel segera melakukan
survei ke daerah-daerah dengan tingkat infeksi paling tinggi.
Dari hasil penelusurannya, ia menemukan bahwa terjadi
peningkatan pesat pasien influenza dalam waktu satu tahun terakhir dan sebagian
pasien itu meninggal dalam waktu singkat. Selain itu, De Vogel juga mendapati
tidak adanya kordinasi yang baik dari para pejabat lokal dalam melawan
penyebaran virus.
Poster Flu Spanyol.
Sumber : www.courier-journal.com.
Oleh karena itu, Dr. De Vogel dan timnya memandang perlu adanya
peraturan yang bersifat dan berskala nasional untuk menumpas penyakit influenza.
Dalam rangka merumuskan peraturan terkait wabah influenza, Dr. De Vogel merujuk
kepada beberapa peraturan tentang penanggulangan wabah penyakit di Hindia
Belanda yang telah ada sebelumnya salah satunya Staatsblad van Nederlandsch Indie no. 277 tahun. 1911. Rancangan
peraturan ini memberikan wewenang kepada pejabat pemerintah untuk melakukan
karantina wilayah yang terkena wabah. Kegiatan yang melibatkan kerumunan massa
juga dilarang. Tujuannya untuk menghindari penularan dan penyebaran penyakit
itu kepada orang lain dan ke daerah lain.
Pemberlakuan karantina wilayah tidak hanya meliputi jalur darat,
pembatasan ketat juga akan dilakukan di pelabuhan. Ini dilakukan karena
pelabuhan diduga menjadi sumber utama masuknya penyakit. Proses bongkar muat
harus dilakukan sendiri oleh kuli angkut kapal untuk mencegah interaksi dengan
penduduk sekitar pelabuhan. Ditambah para awak kapal wajib memiliki surat
keterangan sehat. Selain itu, Dr. De Vogel juga mengusulkan kepada Gubernur
Jenderal agar mengeluarkan peraturan pidana bagi yang melanggar karantina.
Pada awal tahun 1919 rancangan dari peraturan darurat itu
diserahkan kepada Gubernur Jenderal. Selanjutnya, rancangan itu dibagikan
kepada sejumlah kepala dinas dan beberapa institusi di luar pemerintahan pada
bulan Maret 1919. Namun setelah draft rancangan itu diajukan, bukan dukungan
yang muncul, melainkan berbagai protes justru bermunculan terkait rancangan
peraturan karantina wilayah itu
Protes keras yang pertama datang dari direksi Koninklijk
Paketvaart Maatschappij (KPM). Perusahaan yang memonopoli jalur laut
Hindia Belanda itu menyampaikan keberatan. Rancangan Dr. De Vogel dan timnya
dianggap membatasi kinerja dan usaha mereka, sehingga apabila peraturan itu
disahkan, kerugian besar akan dialami perusahan perkapalan itu. Protes juga
datang dari Direktur Kehakiman D. Rutgers. Ia menganggap larangan berkumpul dan
berserikat dianggap terlalu berlebihan. Rutgers juga khawatir apabila peraturan
itu diterapkan, maka kegiatan pendidikan ikut terganggu (Priyanto, 2009: 142). Protes
direktur kehakiman terhadap rancangan undang-undang karantina wilayah, turut
memantik protes dari instansi lain. Munculnya protes dari berbagai instansi dan
perusahaan, menunjukkan bahwa usaha yang dilakukan oleh Vogel bersama timnya
tidak memperoleh dukungan dan sambutan positif.
Peraturan Karantina Wilayah Disahkan
Perdebatan mengenai rancangan undang-undang ini berlangsung
selama lebih dari satu tahun. Semua pihak merasa memiliki kepentingan, sehingga
titik temu pun susah diperoleh. Sementara itu, korban Flu Spanyol terus
berjatuhan. Kondisi inilah yang akhirnya mendorong pemerintah kolonial untuk
mengesahkan peraturan darurat ini pada 20 Oktober 1920. Peraturan ini tidak
hanya berlaku di Jawa, melainkan seluruh wilayah Hindia Belanda.
Potret korban Virus
H1N1.
Sumber: CNN.
Dalam peraturan yang juga dimuat di Staatsblad tahun 1920 nomor 723, disebutkan tiga pihak yang
memiliki tugas penting dalam melawan pandemi, pertama adalah Dinas
Kesehatan Umum (Burgerlijke Gezondheid Toestand), kepala pelabuhan
(haven meester) dan nahkoda kapal (Priyanto, 2009: 160). Kepala Dinas Kesehatan
menjadi yang paling bertanggung jawab dalam menangani wabah dan melakukan
koordinasi dengan kepala daerah. Sedangkan kepala pelabuhan dan nahkoda,
memiliki tugas untuk menjamin kapal yang masuk pelabuhan memenuhi standar
kesehatan. Setelah peraturan ini diresmikan, hukuman pidana juga menyertainya.
Siapa pun yang melanggar peraturan itu dapat dikenakan hukuman pidana.
Dengan disertakannya tuntutan pidana dalam peraturan darurat
ini, turut membuktikan adanya keseriusan pemerintah kolonial untuk mencegah dan
memberantas pandemi. Di samping itu, masuknya unsur pidana dalam peraturan ini
menunjukkan bahwa penyakit influenza tidak hanya dianggap sebagai masalah
kesehatan, melainkan telah menjadi masalah serius yang mengancam keamanan dan
kestabilan negara.
Daftar Pustaka
Crosby, Alfred
W. America’s Forgotten Pandemic: The Influenza of 1918. Cambridge,
Cambridge University Press, 2003.
Het nieuws van den voor Nederlandsch-Indie, 13 Januari 1919.
Mededeelingen van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst in
Nederlandsch-Indie, 1920Mededeelingen van den Burgerlijken Geneeskundigen
Dienst in Nederlandsch-Indie, 1922.
Oliver, Wade W. “Spanish Influenza”. Scientific American,
Vol. 119, No. 18, 1918.
Patterson, K. David dan Pyle, Gerald F. “The Geography And
Mortality Of The 1918 Influenza Pandemic”. Bulletin of the History of
Medicine, Vol. 65, No. 1, 1991.
Philips, H dan Killingray, D. The Spanish Influenza
Pandemic of 1918–19 New Perspectives. London: Routledge, 2003.
Santoso, R. Slamet Iman.Warna-warni Pengalaman Hidup R.
Slamet Iman Santoso.
Jakarta: UI Pres, 1992.
0 Komentar