Oleh : Camelia Prahasinta
Pembantu rumah tangga merupakan profesi yang umum ditemukan pada
masa sekarang. Profesi ini dapat ditemukan dengan mudah di kota-kota besar di
seluruh penjuru negeri, bahkan seringkali muncul dalam pemberitaan media, meski
yang muncul adalah berita menyedihkan (menjadi korban pelecehan, pemerkosaan
dll).
Namun apabila berbicara mengenai sejarah pembantu rumah tangga dalam
historiografi Indonesia, profesi ini adalah profesi yang nyaris tenggelam dalam
tema-tema sejarah yang lain. Barangkali sebagian dari kita akan bertanya,
mengapa pembantu rumah tangga harus dikaji? Apa untungnya untuk kita?. Sikap
pengabaian seperti itulah yang menyebabkan historiografi Indonesia hanya didominasi
oleh tema politik dan tokoh besar, sebaliknya tema-tema minoritas orang kecil
pun semakin tenggelam dan terabaikan.
Hindia Belanda terdiri dari berbagai kelompok sosial, namun
apabila kita berbicara mengenai kelompok paling “Bawah”, sulit rasanya tidak
memasukkan pembantu rumah tangga dalam kategori ini. Profesi mereka yang
menuntut mereka untuk bersikap rendah hati, menjadikan suara mereka tidak
pernah terdengar. Karena alasan tersebut, mustahil menghadirkan suara dan
pengalaman historis para pembantu ini langsung dari sumber aslinya.
Apa yang
bisa kita lakukan adalah merekonstruksi fragmen sejarah sosial mereka dari
bukti tidak langsung (sensus). Pembantu rumah tangga sebenarnya telah lama
menjadi bagian dari tradisi di Jawa maupun di bagian lain Kepulauan, dan muncul
dalam berbagai bentuk. Para pembantu itu dipekerjakan oleh para elite bumi
putra dan jumlah pembantu yang dipekerjakan tergantung kekayaan.
Dalam masyarakat berlapis sosial seperti orang Jawa, hubungan
antara majikan dan pelayan selalu hierarkis. Hubungan mungkin menyerupai ikatan
patronclient, tetapi hubungan itu juga bisa berubah penuh kehangatan dan akrab
secara emosional karena sifat mereka.
Menurut teori Hegel, dalam kehidupan
terdapat kesenjangan antara kaum Borjuis dan proletar dimana hidup dan harga
diri kaum proletar lebih terinjak dari orang-orang besar. Mereka sama sekali
tidak dihargai, Di mata mereka kaum borjuis, proletar ini memiliki kedudukan
rendah karena mereka hanya menumpang hidup pada orang borjuis yang berperan sebagai
majikan, mereka menerima apa adanya asalkan dapat bekerja, mendapat upah dan
bertahan hidup dengan keluarga.
Maka dari itu para pembantu rumah tangga ini
ditempatkan di kasta rendahan karena dianggap tidak memiliki kekuatan. Melalui
peraturan yang dibuat oleh pemerintahan kolonial, kaum proletar di Jawa
benar-benar diberangus hak-haknya sampai titik minimal.
Sejak awal orang Belanda menempatkan diri mereka di atas
aristokrasi Jawa, karena mereka merasa lebih tinggi derajatnya secara ras dan
budaya (Gouda, 1993: 321; Luttikhuis, 2013: 540). Seiring dengan bertambahnya
orang Belanda yang masuk ke Hindia Belanda, terjadi pula peningkatan kebutuhan
pembantu rumah tangga.
Para pembantu ini bekerja di bawah arahan para nyonya,
kondisi ini menyebabkan interaksi sehari-hari di antara mereka pun tidak
terhindarkan. Pada awal abad ke-20, sebuah rumah tangga Eropa idealnya membutuhkan
seorang pembantu rumah tangga pria (jongos atau sepen), pembantu rumah tangga
perempuan atau pengasuh bayi (babu), dan seorang anak laki-laki untuk merawat
kuda dan kebun (kebon). Akan tetapi
jumlah pembantu juga tergantung kekayaan yang dimiliki, orang kaya bisa
memiliki lebih banyak, yang lebih miskin mungkin memiliki lebih sedikit, bahkan
hanya satu pelayan.
Meskipun memiliki peran penting, hanya sejumlah kecil orang
Indonesia / Jawa yang menjadi pelayan. Pada sensus tahun 1930 hanya 2 persen
dari total populasi pekerja Indonesia yang diklasifikasi sebagai pekerja rumah
tangga, yaitu 350.000 orang (300.000 di Jawa, 50.000 di Wilayah Luar).
Komposisi pembantu rumah tangga di Hindia Belanda memiliki perbedaan yang
mencolok dibandingkan Eropa.
Apabila di Eropa saat itu, pembantu rumah tangga
adalah pekerjaan utama perempuan. Di Hindia-Belanda, sekitar 39 persen dari
pembantu rumah tangga adalah laki-laki, sedangkan 61 persen perempuan. Hanya
sekitar 4 persen perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga,
sementara 40 persen bekerja di perkebunan, 25 persen di industri kecil, dan 12
persen di perdagangan.
Perekrutan pembantu dilakukan terutama dari mulut ke mulut, baik
atas rekomendasi pelayan yang dapat dipercaya atau melalui perantaraan
teman-teman Eropa. Di Batavia pada 1930-an, berdiri beberapa kantor penyalur
pembantu rumah tangga yang bertugas sebagai perantara antara pembantu dan
majikan. Kantor-kantor ini memberi para anggotanya evalusiasi, surat
rekomendasi, dan menerbitkan iklan.
Pembantu rumah tangga pada awalnya belajar
langsung di lokasi tempat mereka bekerja. Mereka belajar pekerjaan dari nyonya
mereka atau dari pelayan lainnya. Namun setelah berdiri Asosiasi Pembantu Rumah
Tangga pada 1931, mulai saat itu diselenggarakan beberapa kursus jangka pendek
memasak (menu Eropa) untuk koki Indonesia serta kursus menjahit khusus untuk
babu. Kursus ini diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan pasar atas pembantu
dengan kemampuan mumpuni.
Pada tahun 1930-an, seorang dokter medis memperingatkan para ibu
agar tidak menyerahkan anak-anak mereka untuk dirawat babu. Karena tangan
mereka yang tidak bersih dan mungkin menulari gadis-gadis kecil dengan penyakit
kelamin padahal hal tersebut belum tentu benar terjadi. Tidak semua babu
identik dengan kotor bahkan tidak sedikit para babu ini yang suka akan
kebersihan.
Kebersihan diatur ketat pada masa itu. Para pembantu dilarang
mencampur pakaian majikannya dan pakaiannya ketika mencuci. Apabila sampai
melakukan maka hukumannya adalah pemecatan langsung. Di samping itu, ia juga
dilarang mencuci pakaian di sumur dekat kamar pembantu dan harus selalu dicuci
di kamar mandi majikannya. Meskipun demikian, apa yang
disampaikan pedoman tersebut tidak selamanya sesuai dengan realitas. Karena
pada realitasnya, masih banyak dan pembantu yang memiliki hubungan sangat dekat
dengan keluarga majikannya.
Babu adalah orang yang mengenalkan budaya lokal dan anak-anak
bumiputra kepada mereka, sehingga tidak mengherankan apabila hingga dewasa
banyak dari mereka masih mengingat jasa para babu mereka. Kisah-kisah tentang
para pembantu masa kolonial memang sangat ambivalen. Di satu sisi, pembantu rumah
tangga digambarkan sebagai manusia kotor, pemalas, terlalu memanjakan anak-anak
Eropa dan tidak bisa di andalkan. Di sisi lain, mereka dipuji karena sikap
santun, keterampilan, dan kepatuhan.Oleh sebab itu, mereka dikenal lebih mudah
bergaul dibandingkan pelayan Eropa.
Daftar Rujukan
Nur
Janti. 2018. Pengasuh Anak di Masa
Kolonial. https://historia.id/urban/articles/pengasuh-anak-di-masa-kolonial-DLNW1.
Diakses pada 10 Desember 2020 pukul 14.00
Petrik
Matanasi. 2018. Babu dan Jongos Masa Kolonial Bikin Betah Tuan
Besar Eropa. https://tirto.id/babu-dan-jongos-di-masa-kolonial-bikin-betah-tuan-besar-ropa-cFT7.
Diakses pada 10 Desember pukul 14.20
Terry
Irenewaty. 2016. Eksistensi Perjuangan Wanita Masa Kolonial. Vol.1(2). https://journal.uny.ac.id/index.php/istoria/index.
0 Komentar