Sumber ilustrasi: mojok.co |
Setiap manusia yang terlahir di dunia ini diciptakan
saling berpasangan. Pernikahan merupakan momen suci yang syah menurut hukum
dam agama untuk menyatukan hubungan keduanya. Namun dalam prosesnya terkadang ada saja
halangan dan aturan-aturan yang harus dipenuhi. Kusus di tanah jawa banyak sekali mitos larangan
seputar pernikahan
yang berkembang di masyarakat.
Mitos merupakan
cerita yang aneh
dan seringkali sulit dipahami maknanya atau
diterima kebenarannya karena kisah di dalamnya tidak masuk akal. Karena begitu kuatnya keyakinan masyarakat terhadap suatu mitos
tentang sesuatu hal, sehingga mempengaruhi perilaku masyarakat.
Menurut Burhan Nurgiantoro (2013:
173) sebenarnya kebenaran cerita mitos itu sendiri patut dipertanyakan, terutama lewat sudut pandang rasional
dewasa ini, tetapi
masyarakat pada umumnya menerima kebenaran itu tanpa mempertanyakan
kembali.
Secara umum masyarakat memang begitu pasrah dan
menerima secara utuh
dan tidak mau untuk mempertanyakan kembali akan kebenaran mitos tersebut sehingga terkesan mitos itu menjadi
sebuah peristiwa
yang begitu sakral
sarat berbau mistik dan menjadi sebuah tradisi yang diyakini
masyarakat tersebut. Masyarakat di
Desa Golan dan Dusun Mirah sebagian besar masih meyakini mitos larangan pernikahan antara kedua desa tersebut.
Seperti yang kita ketahui bahwa orang Jawa masih kental akan kebudayaan dan adat-istiadatnya. Hingga mitos-mitos dari
zaman nenek moyang pun masih
dipercaya dan dipegang sampai saat ini. Tak ayal jika proses resepsi dan jodoh harus
benar-benar diperhitungkan agar tidak terkena musibah. Salah satunya adalah
larangan pernikahan di
Desa Golan dan Dusun Mirah kecamatan Sukorejo kabupaten Ponorogo. Larangan ini sudah menjadi tradisi yang mengakar di desa tersebut.
Masyarakat sangat meyakini bahwa jika melanggar pantangan dari Ki Honggolono akan
berdapampak pada orang yang melanggarnya. Pantangan ini berlaku pada semua keturunan dan semua orang yang berdomisili di desa Gola maupun Mirah.
Jadi, jika ada sepasang kekasih yang berdomisili
dari
kedua desa ataupun berasal dari keturunan kedua desa tersebut menikah di luar kota maka pantangan tersebut tetap berlaku dikarenakan pantangan dari Ki Honggolono ini berlaku bagi
orang yang berdomisili
dan orang yang masih
keturunan di
kedua
daerah tersebut (Zannah, 2014).
Kisah ini bermula saat Ki
Ageng Honggolono dan Kyai Ageng Mirah akan menjodohkan anaknya, yakni putra dari
Ki Ageng Honggolono bernama Joko Lancur dan
putri dari Kyai Ageng Mirah yang bernama Kencono Wungu.
Kyai Ageng Mirah yang kemudian mengetahui kepribadian putra Ki Ageng Honggolono akhirnya tidak sudi jikalau putrinya dinikahi Joko Lancur, sehingga
Kyai Mirah membuat prasyarat
yang
memberatkan
Ki Ageng
Honggolono
supaya pernikahan tersebut batal terlaksana.
Kyai Ageng Mirah meminta dua syarat. Syarat yang pertama, yakni Ki Ageng Honggolono harus membuat
bendungan yang mengaliri
di Desa Mirah. Kedua, Ki Ageng Honggolono harus
membuat
seserahan berupa lumbung
berisi padi yang
harus berjalan dengan sendirinya menuju tempat pernikahan.
Syarat-syarat
tersebut sulit dipenuhi Ki
Ageng
Honggolono karena Kyai
Ageng
Mirah meminta pertolongan Kluntung Waluh untuk menghambatnya, namun akhirnya diketahui oleh Bajul Kowor,
anak buah Ki Ageng Honggolono. Keduanya bertempur dan
dimenangkan
oleh Bajul Kowor.
Saat hari pernikahan sudah hampir tiba, namun Ki Ageng Honggolono masih belum
sanggup memenuhi kedua persyaratan yang diajukan. Pada
akhirnya, Ia merasa tidak ada
jalan lain selain berbuat curang dengan mengandalkan kekuatan sihir.
Saat hari pernikahan tiba,
Kyai Ageng Mirah mengendus
siasat Ki Ageng Honggolono yang akan berbuat curang. Akhirnya Ki Ageng Honggolono marah karena pernikahan gagal
terjadi dan terjadilah pertempuran
sengit antar keduanya.
Melihat hal tersebut, kedua mempelai, Joko Lancur dan Kencono Wungu bunuh diri. Melihat putranya mati, Ki
Ageng Honggolono bersumpah serapah 5 hal:
1. Warga Desa Golan dan Mirah tidak boleh menikah
2. Segala jenis barang dari Desa Golan tidak boleh dibawa ke Desa Mirah dan sebaliknya
3. Segala jenis barang dari kedua Desa Golan dan Mirah tidak bisa dijadikan satu
4. Warga Desa Golan tidak boleh membuat atap rumah berbahan jerami
5. Warga Desa Mirah tidak
boleh
menanam, membuat hal apapun
yang
berkaitan dengan bahan kedelai
Dari
penjelasan diatas ada beberapa hal yang menurut penelti
sangat
menarik untuk diteliti lebih dalam. Karena sampai
saat ini mitos di masyarakat
Golan dan Mirah masih mempercayai pantangan yang di sumpahkan oleh dua tokoh
terkemuka. Tokoh tersebut yaitu Ki Honggolono (Desa Golan) dan Kyai Muslim/Ki
Ageng Mirah (Desa Mirah).
Kepercayaan tersebut adalah tentang sebuah larangan-
larangan yang harus dipatuhi
untuk kedua masyarakat tersebut. Hal-hal semacam
inilah yang mendorong peneliti untuk meneliti lebih dalam lagi mengenai mitos di kedua desa tersebut dengan judul Mitos Larangan
Pernikahan Desa Golan dan
Mirah di Kabupaten Ponorogo.
0 Komentar