Oleh: Ahmad Adi Susilo*
Agama
mempunyai fungsi sosial yang sangat bergantung pada konteks dan sesuatu yang
menggerakkannya. Di satu sisi agama merupakan sumber moralitas yang begitu
penting untuk menjaga tatanan sosial masyarakat yang harmonis. Namun di sisi
yang lain isu agama bisa begitu sensitif untuk dibicarakan, terutama ketika
dikaitkan dengan isu politik elektoral. Dari dua sisi tersebut akhirnya
mengharuskan kita untuk lebih bijak memandang agama dalam proses interaksi di
ruang publik.
Berdasarkan
hasil riset Nathanael Gratias data dari Religion and State (RAS) Projectmenyebutkan diskriminasi dalam beragama di Indonesia salah satu yang tertinggidi dunia Islam. Gesekan antar umat beragama ini semakin memanas tatkala
tahun-tahun politik seperti sekarang ini. Seseorang dengan mudah mendaku paling
agamis dan seenaknya menganggap orang lain kafir. Ketika isu tersebut terus
direproduksi, maka konflik horizontal di
antara kelompok masyarakat pun tak bisa dihindari, polarisasi pun juga akan
semakin menajam.
Kehadiran
Agama Menjaga Alam
Indonesia
memiliki populasi umat muslim terbesar di dunia, ada sekitar 87, 2 % dari
keseluruhan masyarakat menganut agama Islam. Selain itu, Indonesia juga
mengakui 4 agama lain (Budha, Kristen, Konghucu, Hindu), bahkan kepercayaan
adat sebagai agama yang resmi. Dengan kata lain, bangsa ini sebenarnya
mempunyai semangat pluralitas untuk menghargai perbedaan masing-masing
kepercayaan. Potensi tersebut yang
seharunya terus kita gali untuk menemukan fungsi sosial dari agama yang baik
untuk kemaslahatan publik.
Fungsi sosial agama bisa kita manfaatkan untuk menjaga kelestarian alam yang kini kian terancam. Data kementerian lingkungan hidup menunjukkan pada tahun 2014-2020, dari semua izin pinjam pakai kawasan hutan sekitar 117 ribu hektar hutan dibabat untuk lahan tambang. Hanya sekitar 14 ribu hektar lahan bekas hutan yang digunakan untuk non-tambang seperti jalan tol, jalan umum, jaringan telekomunikasi, listrik dan migas.
Berdasarkan
catatan Forest Watch Indonesia, pada tahun ini masih ada 229 hektar hutan danladang yang terbakar. Upaya mengantisipasi kerusakan ekologis tersebut tentunya
bukan hanya masalah sains dan teknologi. Tetapi begitu berkait erat dengan moral
spiritual yang terkandung dalam nilai agama.
Pada
tahun 2007, sebenarnya semangat kepedulian terhadap lingkungan sudah dilakukan
oleh 10 pemimpin agama dari 6 kelompok agama yang mendeklarasikan komitmennya,
menggunakan ajaran agama dan kearifan lokal untuk mengajarkan tentang kesadaran
menjaga lingkungan dan memulai proyek konservasi lingkungan. Deklarasi tersebut
dilakukan ketika Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi PBB
untuk iklim di Bali.
Para
pemimpin agama tersebut mengetahui efek buruk dari krisis lingkungan dan bersepakat
untuk melakukan gerakan yang nyata. Tentunya ini menjadi suatu langkah
alternatif yang cukup maju untuk membendung kerusakan alam yang semakin tak
terkendali.
Penggunaan
isu agama guna memperkenalkan pentingnya ketahanan sumber daya alam ini
akhirnya menghasilkan dua efek yang signifikan. Pertama, munculnya aktivisme di
bidang lingkungan melalui ajaran religi telah berkembang pesat, baik dilakukan secara
personal maupun kelembagaan. Kedua, hal ini semakin memasifkan kampanye
lingkungan yang dibalut dalam isu agama, lebih menyasar kepada masyarakat yang
terdampak.
Dalam
hal ini adalah masyarakat kalangan bawah yang rentan secara politik, namun
begitu patuh dengan ajaran agamanya. Beberapa titik kawasan konflik lingkungan
di masyarakat menunjukan hal yang serupa. Isu mengenai agama lebih menyentuh aspek
intuisi sehingga lebih efektif untuk menggerakan masa.
Keadaan
Saat ini
Banyak
cerita dari beberapa kelompok masyarakat beragama menjadi korban pembangunan
yang mengancam ruang hidup di daerahnya. Kaum santri di Jember melakukan aksi
protes terhadap kebijakan pemerintah atas eksplorasi tambang pasir besi di
Pasebon, Jember. Para santri tersebut berani melawan kebijakan yang pro pemodal.
Mereka melindungi nasib warga yang terdampak penambangan dan menjaga
kelestarian ekologi pesisir melalui kegiatan advokasi dan pemberdayaan.
Dengan
kata lain, legitimasi sosial keagamaan kaum santri tersebut digunakan untuk
mendesak suatu agenda perubahan sosial. Hingga akhirnya pemerintah dan pemilik
modal tidak melanjutkan eksplorasi tambang pasir tersebut di Pasembon. Fakta
ini menandakan bahwa para santri mempunyai nilai tawar yang tinggi untuk ikut
memasuki ruang-ruang politik kebijakan.
Contoh
lainnya, masyarakat adat Samin di Pegunungan Kendeng melakukan penolakan karena
tanah mereka yang dianggap suci dan merupakan warisan leluhur berusaha diambil
alih perusahaan semen. Mereka mengobarkan perlawanan terhadap rencana kebijakan
tersebut dan menempatkan ajaran Samin sebagai senjata. Mereka meyakini bahwa memanfaatkan
alam harus secukupnya saja, tidak berlebihan.
Mereka
juga mengibaratkan tanah sebagai ibu dari mereka sendiri yang berarti memberi
penghidupan bagi kelangsungan seluruh makhluk hidup. Spirit perlawanan yang
terkandung dalam dua contoh kasus di atas bermodalkan nilai moral ajaran agama.
Sebagai
penutup, isu agama yang terus digesekkan tentunya menjadi ancaman bagi
demokrasi yang tengah merosot di negeri ini. Di mana agama secara sengaja dipolitisasi
sedemikian rupa untuk kepentingan sesaat. Beberapa tindakan amoral, mengumbar
fitnah, secara jelas semakin memecah belah persatuan dan kesatuan. Efeknya adalah
pikiran masyarakat akhirnya dihantui rasa benci kepada kelompok lain, hingga memburuknya
kualitas demokrasi di negeri ini.
Demokrasi yang mensyaratkan adanya kritik publik yang berkualitas justru mengalami kemunduran karena ruang publik dibanjiri oleh isu-isu negatif. Sehingga diperlukan diskusi yang berwawasan moral, bukan justru memanfaatkan tendensi agama untuk memecah belah bangsa. Sudah saatnya kita meyakini bahwa nilai agama bukan sekedar berfungsi sebagai penjaga moral, namun juga penjaga lingkungan, dan keutuhan bangsa.
*Penulis: Unit Pendidikan Publik Malang Corruption Watch (MCW)
0 Komentar